
Cirebon – Reportasejabar.com – Sejumlah perangkat desa dan aparatur kecamatan di wilayah Kecamatan Gempol menyatakan keberatan atas dugaan penyalahgunaan tanda tangan mereka dalam proses perpanjangan Surat Hak Pengelolaan (SHP) oleh perusahaan PT Indocement.
Peristiwa ini berawal ketika undangan rapat Jaring Aspirasi Masyarakat (JUM) terkait penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk peningkatan kapasitas produksi disampaikan oleh tim legal PT Indocement sekitar akhir 2024 atau awal 2025. Aparat desa dan kecamatan menandatangani surat tersebut hanya sebagai bukti penerimaan undangan, bukan sebagai bentuk persetujuan perpanjangan SHP.
Setelah undangan diedarkan, pihak Indocement melakukan kunjungan ke sejumlah desa terdampak, antara lain Desa Kedung Bunder dan Desa Ciwaringin. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan adanya rencana peningkatan kapasitas produksi yang awalnya dianggap sebagai kabar positif. Sebelumnya, masyarakat menerima informasi bahwa kegiatan tambang akan dihentikan karena keterbatasan bahan baku.
Belakangan, muncul informasi bahwa dokumen perpanjangan SHP telah diajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Seorang sumber menyebut, tanda tangan dalam surat undangan JUM diduga digunakan sebagai dasar pengajuan tersebut dan dianggap sebagai bentuk persetujuan dari desa dan kecamatan.
Aparat desa membantah hal itu. Mereka menegaskan belum pernah ada:
Peraturan Desa (Perumades) yang mengatur perpanjangan SHP,
Persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
Musyawarah resmi dengan masyarakat,
Keterbukaan mengenai nilai kontrak maupun batas wilayah kelola.
Sejumlah pihak menilai, prosedur formal belum dijalankan, namun dokumen sudah bergerak di tingkat BPN. Kondisi ini memunculkan dugaan adanya praktik administrasi yang tidak sesuai ketentuan.
Pemerintah desa dan kecamatan kini tengah menyiapkan klarifikasi tertulis untuk menegaskan bahwa tanda tangan yang tercantum hanya berkaitan dengan penerimaan undangan JUM, bukan persetujuan perpanjangan SHP.
Jika dugaan penyalahgunaan dokumen terbukti, langkah keberatan administratif hingga pelaporan kepada pemerintah daerah disebut menjadi opsi lanjutan.
Camat Gempol
“Tanda tangan yang kami bubuhkan saat itu murni sebagai bukti penerimaan undangan JUM. Tidak pernah ada pembahasan atau persetujuan terkait perpanjangan SHP. Kalau dokumen itu dipakai untuk keperluan lain, kami jelas keberatan,” ujar Camat Gempol.
Kepala Desa Cikeusal
“Kami tidak pernah menyetujui perpanjangan SHP karena tidak ada Perumades, tidak ada musyawarah desa, dan tidak ada pemberitahuan resmi soal kontraknya. Kalau ternyata tanda tangan undangan dijadikan dasar pengajuan, itu menyalahi prosedur,” kata Kepala Desa Cikeusal.
Kepala Desa Palimanan Barat
“Sejak awal kami hanya menerima undangan JUM. Sampai sekarang tidak pernah ada pembahasan soal batas wilayah, kompensasi, atau kesepakatan hukum. Kalau nama desa kami dicantumkan sebagai pihak yang menyetujui, itu harus diluruskan,” ujarnya.
Tokoh masyarakat Desa Palimanan Barat
“Informasi yang kami tahu dulu Indocement akan berhenti karena bahan baku habis. Tiba-tiba malah muncul isu perpanjangan SHP tanpa melibatkan warga. Kalau benar ada manipulasi dokumen, masyarakat jelas merasa dirugikan,” tutur salah satu tokoh masyarakat Palimanan Barat.
Pimpinan Redaksi Sahabat Bhayangkara Indonesia (SBI), Agung Sulistio
“Kami memandang persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Jika benar ada penyalahgunaan tanda tangan atau manipulasi dokumen untuk kepentingan perpanjangan SHP, maka itu bukan hanya persoalan etik, tetapi juga dapat berdampak hukum. Kami akan terus mengawal informasi ini dan memberikan ruang bagi aparatur desa maupun masyarakat yang merasa dirugikan untuk menyampaikan fakta secara terbuka,” tegas Agung Sulistio.
Tim.