
Oleh: Nandan Limakrisna
Bandung – Air adalah sumber kehidupan. Di negeri yang kaya mata air seperti Indonesia, seharusnya setiap tetes air menjadi penopang kesejahteraan rakyat. Namun realitas hari ini justru berbanding terbalik. Di berbagai daerah, sumber-sumber air dikuasai oleh perusahaan besar, sementara masyarakat sekitar hanya menjadi penonton — bahkan sering menjadi pihak yang paling terdampak kekeringan.
Fenomena penguasaan air oleh korporasi besar sektor air minum dalam kemasan (AMDK) sudah berlangsung lama dan meluas. Perusahaan-perusahaan ini memperoleh izin pengambilan air dari pemerintah daerah, mengemasnya, lalu menjualnya ke seluruh Indonesia dengan harga tinggi. Sementara masyarakat di sekitar sumber air kerap mengalami penurunan debit air dan tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang sepadan. Ironisnya, semua ini terjadi di bawah payung hukum yang tampak sah — padahal secara konstitusional, praktik ini menyimpang dari semangat Pasal 33 UUD 1945.
Air Milik Rakyat, Negara Hanya Pengelola
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Frasa “dikuasai oleh negara” bukan berarti negara memiliki air dan bebas menyerahkannya kepada swasta. Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya menegaskan bahwa negara hanya menguasai dalam arti mengatur, mengelola, dan mengawasi, bukan memiliki. Air adalah milik publik, bukan milik negara apalagi swasta. Negara hanya dipercaya rakyat untuk memastikan air dikelola demi kepentingan bersama.
Pandangan ini juga sejalan dengan ajaran Islam. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.”
(QS. Al-Anbiya’: 30)
Ayat ini menunjukkan betapa fundamentalnya air dalam kehidupan, bukan sekadar komoditas ekonomi. Air adalah anugerah Allah yang harus dikelola dengan adil, tidak boleh dimonopoli, dan wajib dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama.
Realitas yang Terbalik
Praktik di lapangan sering jauh dari amanat konstitusi maupun ajaran agama. Banyak perusahaan besar memperoleh izin eksploitasi air dengan biaya murah, lalu menjualnya dengan harga tinggi, meraih keuntungan besar. Sementara masyarakat sekitar sumber air mengalami penurunan debit air, bahkan kekeringan di musim kemarau.
Salah satu daerah di Jawa Tengah menjadi contoh nyata. Sejak awal 2000-an, pemerintah daerah memberikan izin pengambilan air dalam jumlah besar kepada sebuah perusahaan sektor AMDK. Seiring waktu, debit air menurun, sawah mengering, dan masyarakat kesulitan air. Warga melakukan gugatan dan protes, namun izin terus diperpanjang atas nama pendapatan daerah.
Dalam Islam, air tidak boleh dimonopoli oleh segelintir pihak. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad — hadits hasan sahih)
Hadis ini menegaskan bahwa air adalah hak bersama (milkiyyah ‘ammah), bukan milik privat. Negara berkewajiban menjaganya agar tidak dikuasai oleh segelintir kelompok, serta memastikan distribusi dan pemanfaatannya untuk kemaslahatan umum.
Privatisasi Keuntungan, Sosialisasi Sumber Daya
Model pengelolaan saat ini menciptakan paradoks:
- Air, yang merupakan hak dasar rakyat dan karunia Allah, berubah menjadi komoditas privat.
- Negara hanya memperoleh retribusi kecil, masyarakat menerima CSR simbolik.
- Korporasi menikmati keuntungan ekonomi besar, bahkan ada yang menguasai sebagian besar pangsa pasar AMDK nasional.
Ini bukan hanya masalah hukum dan ekonomi, tapi juga masalah moral dan keadilan. Dalam Islam, penguasaan sumber daya umum oleh segelintir pihak merupakan bentuk kezhaliman struktural yang dilarang.
Tiga Solusi Konkret untuk Mengembalikan Kedaulatan Air
Untuk memastikan air benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat dan sesuai amanat syariah, diperlukan perubahan paradigma dalam kebijakan air nasional. Tiga langkah strategis dapat ditempuh:
1. Batasi Pengambilan Air Berdasarkan Studi Lingkungan
Pemerintah wajib melakukan studi daya dukung dan daya tampung air secara menyeluruh sebelum memberi izin. Studi melibatkan masyarakat, akademisi, dan lembaga lingkungan. Hasilnya menentukan kuota maksimal pengambilan air. Izin harus dievaluasi berkala. Bila debit menurun, izin dikurangi atau dicabut.
2. Skema Kepemilikan Bersama dan Bagi Hasil yang Adil
Masyarakat lokal harus menjadi pemilik manfaat utama, melalui BUMDes atau koperasi air. Perusahaan boleh mengelola, tapi dengan skema bagi hasil proporsional, misalnya 60% perusahaan dan 40% masyarakat. Bagian masyarakat ini berbentuk porsi keuntungan langsung, bukan sekadar CSR. Dengan demikian, rakyat menjadi komisaris sejati, bukan penonton.
3. Batasi Penguasaan Pasar oleh Perusahaan Besar
Pemerintah perlu menetapkan batas maksimal penguasaan pasar oleh satu perusahaan, misalnya 20% pangsa pasar nasional AMDK. Ini untuk mencegah monopoli dan memberi ruang bagi pelaku lokal, BUMDes, dan UMKM. Distribusi ekonomi akan lebih merata, sejalan dengan prinsip keadilan distributif dalam Islam.
Kedaulatan Air: Agenda Strategis Bangsa dan Amanah Syariah
Air bukan sekadar komoditas. Ia menyangkut kedaulatan bangsa, hak dasar rakyat, dan amanah Allah SWT. Negara tidak boleh menyerahkan kendali air kepada segelintir korporasi hanya demi pemasukan jangka pendek.
Pasal 33 UUD 1945 telah memberi arah yang jelas, dan Islam menguatkan prinsip itu: air adalah milik bersama, dan pemimpin bertanggung jawab menjaga keadilan dalam pengelolaannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Negara harus hadir bukan sekadar pemberi izin, tapi sebagai pengendali kepentingan publik dan pelindung hak rakyat. Rakyat lokal harus menjadi subjek, bukan objek. Swasta boleh berperan, namun dengan batasan tegas dan distribusi manfaat yang adil.
Penutup
Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk menata ulang tata kelola air. Ketergantungan pada korporasi besar harus diimbangi dengan pemberdayaan rakyat dan penguatan regulasi. Tiga langkah sederhana — pembatasan sumber, bagi hasil rakyat, dan pembatasan penguasaan pasar — dapat menjadi pondasi kedaulatan air sejati.
Air adalah amanah Allah dan hak seluruh rakyat. Sudah saatnya rakyat tidak hanya menjadi penonton, tetapi pemilik sejati kedaulatan air di tanah sendiri, sesuai amanat konstitusi dan petunjuk syariah.
Tentang Penulis:
Nandan Limakrisna adalah akademisi dan pemerhati ekonomi-politik sumber daya alam. Aktif dalam kajian kebijakan publik dan strategi penguatan kedaulatan ekonomi nasional.