Oleh: Prof. Dr. Nandan Limakrisna
Ketahanan pangan menjadi isu strategis nasional yang semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Jawa Barat sebagai salah satu lumbung padi Indonesia memiliki peran vital dalam menjaga ketersediaan beras nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, produktivitas lahan pertanian di Jawa Barat menunjukkan kecenderungan menurun akibat degradasi tanah, mahalnya pupuk kimia, serta alih fungsi lahan.
Untuk mengembalikan kejayaan pertanian Jawa Barat, target produksi gabah kering giling (GKG) 1 juta ton per tahun adalah langkah realistis sekaligus visioner. Target ini tidak sekadar angka statistik, melainkan simbol kedaulatan pangan, kesejahteraan petani, dan keberlanjutan ekonomi daerah.
Tantangan Utama Pertanian di Jawa Barat
- Degradasi Kesuburan Tanah
Penggunaan pupuk kimia berlebihan selama puluhan tahun telah menurunkan kandungan bahan organik tanah hingga di bawah 1%. Akibatnya, daya serap air dan kemampuan tanah menyimpan unsur hara menurun drastis. - Cuaca Ekstrem dan Krisis Air
Curah hujan yang tidak menentu mengganggu pola tanam dan menyebabkan gagal panen. Di sisi lain, kekeringan memperburuk efisiensi irigasi. - Keterbatasan Modal Petani dan Akses Teknologi
Sebagian besar petani skala kecil masih bergantung pada bantuan pupuk subsidi dan tidak memiliki akses pada inovasi teknologi seperti irigasi tetes atau biofertilizer modern. - Alih Fungsi Lahan dan Fragmentasi Pertanian
Pertanian di Jawa Barat menghadapi tekanan urbanisasi dan industrialisasi yang masif, sehingga banyak lahan subur berubah menjadi kawasan permukiman dan pabrik.
Kerangka Strategis: “Green Agrisystem Jawa Barat 2030”
Untuk mencapai target 1 juta ton gabah kering per tahun, diperlukan pendekatan sistemik yang memadukan ekonomi syariah, inovasi hayati, dan pemberdayaan petani. Strategi ini dapat dirangkum dalam lima langkah utama:
1. Revolusi Pupuk Organik dan Hayati
Peningkatan produktivitas tidak akan tercapai jika kesuburan tanah terus menurun. Oleh karena itu, transformasi dari pupuk kimia menuju pupuk organik dan hayati adalah syarat utama.
Produk-produk seperti BIOSOLTAMAX dari PT Bandung Inovasi Organik terbukti mampu meningkatkan hasil panen hingga 20–30% dengan biaya pupuk yang lebih rendah. Mikroba hayati dalam pupuk ini memperbaiki struktur tanah, mengaktifkan enzim alami, dan menstabilkan kadar air — sangat penting menghadapi musim tak menentu.
Pemerintah daerah perlu:
- Memberikan insentif harga bagi petani pengguna pupuk organik.
- Membangun pabrik pupuk hayati desa berbasis BUMDes.
- Menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi dan startup teknologi pertanian.
2. Sistem Pertanian Syariah dan Pembiayaan Tanpa Riba
Sektor pertanian tidak bisa bergantung pada pinjaman berbunga tinggi. Prinsip ekonomi syariah harus menjadi fondasi pembiayaan pertanian masa depan.
Skema yang dapat diterapkan antara lain:
- Qard Hasan dan Murabahah melalui koperasi syariah atau BMT.
- Wakaf produktif pertanian untuk penyediaan alat dan bibit unggul.
- Zakat pertanian yang dikelola untuk dana rotasi modal bagi petani kecil.
Dengan cara ini, petani terbebas dari jerat riba, tetapi tetap memiliki modal kerja dan perlindungan sosial.
3. Optimalisasi Air dan Irigasi Cerdas
Cuaca ekstrem menuntut manajemen air yang presisi. Jawa Barat dapat mengembangkan Smart Irrigation System berbasis sensor kelembapan dan data satelit. Teknologi ini meminimalkan pemborosan air hingga 30% dan menjamin efisiensi penggunaan pupuk organik cair.
Selain itu, perlu digalakkan kembali program embung dan sumur resapan desa agar air hujan dapat disimpan untuk musim kering — bentuk nyata implementasi prinsip al-tawazun (keseimbangan antara manusia dan alam).
4. Integrasi Petani dan Koperasi Produksi
Pencapaian target 1 juta ton gabah kering tidak bisa dicapai secara individu. Harus ada ekosistem kolaboratif antarpetani melalui koperasi produksi.
Koperasi tidak hanya berfungsi sebagai penyalur pupuk dan bibit, tetapi juga sebagai offtaker gabah, memastikan harga jual yang adil dan stabil. Konsep shared prosperity dalam ekonomi syariah mendorong distribusi hasil yang lebih merata antara petani, koperasi, dan pasar.
5. Digitalisasi Rantai Pasok Pertanian
Era digital memberikan peluang besar untuk meningkatkan efisiensi distribusi dan pemasaran hasil panen.
Melalui platform e-agriculture, petani dapat langsung menjual gabah ke penggilingan atau eksportir tanpa perantara yang panjang. Pemerintah provinsi dapat memfasilitasi platform digital syariah untuk hasil tani, yang mengintegrasikan pembiayaan, logistik, dan penjualan dengan transparan.
Simulasi Ekonomi: Realistis Mencapai 1 Juta Ton GKG
Dengan pendekatan organik-hayati dan efisiensi air, hasil panen dapat meningkat rata-rata 1 ton per hektare. Bila 500.000 hektare sawah di Jawa Barat beralih ke sistem pertanian hayati, maka:
500.000 ha × peningkatan 1 ton/ha = 500.000 ton tambahan gabah kering
Jika disinergikan dengan peningkatan produktivitas dasar 10–15%, target 1 juta ton GKG per tahun sangat mungkin dicapai secara berkelanjutan — tanpa memperluas lahan, tanpa merusak lingkungan, dan dengan menyejahterakan petani.
Penutup: Pertanian sebagai Amal Jariyah Ekonomi
Dalam pandangan Islam, pertanian bukan hanya kegiatan ekonomi, melainkan ibadah yang memberi manfaat luas. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu hasilnya dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mewujudkan 1 juta ton gabah kering di Jawa Barat bukan sekadar proyek produksi, tetapi gerakan sosial dan spiritual untuk menegakkan ketahanan pangan berkeadilan. Dengan fondasi ekonomi syariah, inovasi hayati, dan kolaborasi daerah, Jawa Barat dapat menjadi pionir pertanian hijau (green agriculture) Indonesia yang berdaya saing global.
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Nandan Limakrisna adalah Guru Besar Bidang Manajemen dan Ekonomi di Universitas Persada Indonesia (UPI) Y.A.I Jakarta, penggagas Snowball Business Model, dan pendiri PT Bandung Inovasi Organik.
Info Contact : amarta.nandan@gmail.com







