
Garut – Reportasejabar.com ‘Kebocoran pajak daerah di Kabupaten Garut terus mendapat sorotan tajam dari Yosan Guntara SH, Penggiat Anti Korupsi Jawa Barat. mengkoreksi hasil LHP Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mencatat, selama dua tahun berturut-turut, terdapat potensi kerugian miliaran rupiah dari sektor pajak reklame, hotel, restoran, parkir, hingga PBB-P2.
Pada tahun 2023, BPK mencatat senilai Rp.
1,3 miliar dari pajak reklame pihak ketiga dan Rp. 655 juta dari pajak hotel serta restoran, sehingga total kebocoran pajak 2023 mencapai Rp.1,9 miliar.
Setahun kemudian, dalam LHP 2024, kembali ditemukan masalah serupa. BPK mencatat Rp.525 juta dari hotel, restoran, dan parkir, ditambah Rp.187 juta pajak makanan-minuman dari belanja sekolah, serta potensi lebih dari Rp1,3 miliar dari PBB-P2 menara telekomunikasi dan SPBU. Total kebocoran 2024 mencapai sekitar Rp. 2 miliar.
Kepala Bidang Penagihan Bapenda Garut menyebut pihaknya telah melakukan perbaikan di tahun berjalan untuk menutup celah kebocoran pajak tersebut.
Namun, menurut penikaian Yosan pernyataan itu tidak cukup.
“Perbaikan itu sebuah keharusan dan kewajiban. Dalam ilmu hukum dikenal asas tempus regit actum yaitu waktu yang mengatur perbuatan. Artinya, kesalahan yang terjadi pada saat itu tetap harus dipertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku pada masanya. Tidak bisa berlindung dengan alasan sudah diperbaiki belakangan,” tegas Yosan,
Ia menambahlan pula bahwa, rangkaian temuan ini sebagai bukti Bapenda Kabupaten Garut gagal menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum pajak
“Ini bukan lagi kebetulan. Dua tahun berturut-turut ada kebocoran Rp.1,3 miliar dari reklame, Rp.1,1 miliar dari hotel-restoran-parkir, Rp.187 juta dari konsumsi sekolah, dan lebih dari Rp.1,3 miliar dari tower serta SPBU. Totalnya 3,9 miliar. Bapenda bukan hanya lalai, tapi sudah gagal sistemik,” tegas Yosan,
Lebih lanjut menurut Yosan,” Masalah reklame tahun anggaran 2023 seharusnya ditindaklanjuti dengan SKPDKBT karena ada data baru (NKR). Namun Bapenda memilih SKPDKB, yang membuat daerah kehilangan potensi tambahan Rp.1.3 miliar dari sanksi 100%.
“SKPDKB membuat Garut hanya dapat Rp1,3 miliar, padahal seharusnya Rp. 2,6 miliar. Ini jelas kerugian keuangan daerah akibat salah pilih pasal. Kalau ada pejabat sengaja salah pasal, itu bisa ditafsirkan sebagai penyalahgunaan wewenang,” ujar Yosan.
Sementara untuk temuan 2024, Yosan menilai lemahnya verifikasi omzet membuat banyak WP hotel dan restoran bisa mengurangi setoran pajak.
“Ada rumah makan yang omzetnya miliaran tapi setor tidak sesuai. Ada pengelola parkir yang setor Rp.6 juta setahun, padahal omzet Rp. 200 juta lebih. Itu tidak masuk akal. Ini bukti Bapenda tidak melakukan pengawasan serius. e-PAD jadi sekadar formalitas,” ungkapnya.
Selanjutnya, Yosan mengatakan masalah PBB-P2 atas tower dan SPBU semakin memperlihatkan buruknya koordinasi antar-OPD.
“433 tower dan 8 SPBU bisa luput dari penetapan pajak. Ini kelemahan koordinasi, dan publik berhak bertanya, apakah ini kelalaian atau ada pembiaran ? Kalau Perda bisa diabaikan, wibawa hukum daerah runtuh,” tegasnya.
Ia pun mendesak DPRD Garut untuk mengawal tindaklanjut temuan ini secara serius, dan meminta aparat penegak hukum (APH) turun tangan jika ada indikasi kerugian keuangan daerah.
“DPRD jangan diam. APH jangan menunggu bola. Rp3,9 miliar bukan angka kecil bagi Kabupaten Garut ini. Kalau kebocoran dibiarkan, artinya pemerintah daerah ikut melanggengkan tradisi bocornya PAD. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal integritas dan keberanian menegakkan hukum,” Tutupnya.
” DEUDEU “